SIAPAPUN TIDAK SUKA DENGAN KEZALIAMN, APA LAGI PEMBUNUHAN DAN KEKEJAMAN, NAMUN PADA KOMENTAR KAMU KELIHATANNYA KAMU BERFIKIRAN PRO SEKULAR SEKALIPUN KAMU BUKAN SEKULAR, DAN KAMU SECARA HALUS DAN LUNAK SEOLAH-OLAH TIDAH SUKA DENGAN KEKEJAMAN, NAMUN DIDALAM AKAL KAMU SENDIRI SANGAT HITAM TENTANG APA MUSLIHAT YANG BERLAKU DI MESIR, KERNA KAMU GAGAL ATAU KAMU SEMBUNYIKAN TENTANG ISTILAH "TAMYIZ DIN'AN DAULAH" DALAM MASALAH AGAMA, NEGARA ATAU POLITIK ?
KAMU PERLU SEDAR BAHAWA MESIR BUKAN SEBUAH NEGARA ISLAM AKAN TETAPI IA NEGARA UMAT ISLAM, UMAT ISLAM DI MESIR SENDIRI ADA YANG BERFAHAMAN ISLAM DAN JUGA BERFAHAMAN ISLAM ALA SEKULAR DAN KRISTIAN, SEMENTARA POLITIK MESIR SENDIRI BARU SAJA MAHU MENGUKIR CARA ISLAM SUDAH DIPANCUNG, JADI, KERJA MUSLIHAT ISLAM ALA SEKULAR KRISTIAN YANG BERSELINDUNG DENGAN KONSEP DEMOKRASI KAMU TIDAK ARIF TENTANGNYA, JADI KAMU TERUS SAJA MENGATAKAN TERLALU SUKAR UNTUK MENILAI "TAMYIZ DIN'AN DAULAH ?
INI SEMUA TIADA ASAS BAGI KAMU MEMBIKIN KOMENTAR YANG DAPAT DIUMPAMAKAN SEBAGAI "MENARIK RAMBUT DIDALAM TEPUNG, IAITU RAMBUT JANGAN PUTUS DAN TEPUNG JANGAN BERTABURANM NAMUM APA TUJUAN MENARIK RAMBUT DIDALAM TEPUNG ? HANYA KAMU KELIHATANNYA DAPAT DIKATAKAN SEBAGAI MAHU MEMADAMKAN PERJUANGAN YANG DIBAWA OLEH IKHWAN SECARA HALUS, SEPATUTNYA KAMU PERLU MENCARI PUNCA BERLAKUNYA PERGOLAKAN DI MESIR, BAIK DARI SEGI POLITIK, AGAMA ATAU NEGARA - Pak Karamu
Perlukah Mendukung Ikhwanul Muslimin
Kamis, 15 Agustus 2013 00:39 WITA
Oleh: Ahmad Sadzali
Penulis adalah mahasiswa Universitas al-Azhar, Kairo, asal Martapura
Berbicara
soal kudeta di Mesir mungkin tidak akan ada habisnya. Banyak sekali
fenomena dan pelajaran yang dapat kita ambil. Salah satu fenomena dan
pelajaran yang paling penting dari krisis Mesir ini adalah terbuktinya
ukhuwah Islamiah yang sangat kuat di antara sesama umat Islam.
Melihat
presiden Mesir Dr Muhammad Mursi dari kelompok Islamis Ikhwanul
Muslimin dikudeta militer Mesir, hampir serentak umat Islam di berbagai
penjuru dunia mengecam kudeta tersebut.
Terlebih lagi ketika
melihat kedzaliman yang dilakukan oleh militer Mesir dengan menembaki
pendukung Mursi hingga ratusan korban jiwa telah berjatuhan, umat Islam
semakin geram dengan ulah militer tersebut. Sebagai sesama Muslim, kita
tentu pasti membela saudara kita yang tengah didzalimi.
Namun ada
hal yang sangat disayangkan di sini yaitu ketika ukhuwah Islamiah yang
begitu kuat itu dipolitisi untuk ambisi politik. Kisruh di Mesir yang
aslinya adalah murni krisis politik, lantas dihubungkan dengan agama
Islam, dengan alasan ukhuwah, solidaritas, jihad, dan lain sebagainya.
Perkembangan
pola pikir seperti ini tentunya tidak baik dan tidak sehat bagi ukhuwah
umat Islam itu sendiri. Genderang solidaritas, apalagi jihad yang
ditujukan kepada sesama Muslim hanya akan memperburuk kondisi umat Islam
saja. Hasilnya, umat Islam akan semakin terpecah-belah.
Sangat
riskan jika selanjutnya terdapat tuduhan bahwa yang mengkudeta Mursi itu
adalah musuh umat Islam. Apa kita lupa bawah rakyat Mesir yang
mendukung kudeta itu juga beragama Islam? Bahkan di belakangnya juga ada
kelompok Islamis seperti Salafi dan institusi keagamaan terbesar,
al-Azhar. Lantas apakah kita sudah menganggap sesama Muslim sendiri
sebagai musuh?
Oleh karena itulah, ulama-ulama al-Azhar lantas
dengan tegas menyatakan bahwa kisruh politik Mesir saat ini tidak ada
sangkut-pautnya dengan agama Islam. Jadi jangan sampai membawa
simbol-simbol Islam dalam perkara itu, hanya untuk mencari simpati dari
kekuatan ukhuwah Islamiah. Itu murni urusan politik dan perebutan
kekuasaan.
Namun pernyataan ulama-ulama al-Azhar itu lantas banyak
yang diselewengkan dan tidak dipahami secara benar. Untuk itulah
penting sekali pernyataan seperti itu dijelaskan secara baik, sehingga
tidak terjadi salah paham.
Sikap ulama-ulama Al-Azhar sebenarnya
bukan pro-militer, tapi mengedepankan maslahat dan benar-benar berpegang
teguh pada prisip syariat Islam. Pernyataan bahwa urusan Ikhwanul
Muslimin dan krisis di Mesir sekarang memang benar tidak ada sangkut
pautnya dengan agama Islam. Itu adalah masalah politik dan perebutan
kekuasaan, tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
Namun
sayangnya, terkadang di poin ini tidak sedikit orang-orang yang salah
memahaminya. Mendengar bahwa politik tidak ada hubungannya dengan agama,
lantas pernyataan itu dinilai sekular atau liberal. Padahal yang
dimaksud bukan demikian.
Politik dan agama Islam itu sangat erat
hubungannya. Bahkan tidak bisa dipisahkan. Konsep politik Islam selalu
berlandaskan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Bukan hanya politik
saja, melainkan seluruh aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam.
Jadi, sangat tidak mungkin jika konsep politik dalam Islam justru
terlepas dari Islam.
Akan tetapi, yang dimaksud para ulama
al-Azhar dengan pernyataan tersebut adalah, kasus yang terjadi sekarang
di Mesir, bukan perjuangan agama apalagi perang agama, melainkan
perjuangan perebutan kekuasaan.
Dr Muhammad Imarah pernah
mengatakan soal hubungan negara dan agama Islam. Hubungan antara agama
dan negara biasanya antara dua bentuk: 1) penggabungan agama dan negara,
yaitu menjadi negara teokrasi, seperti era Kegelapan Eropa dulu ketika
negara dikuasai institusi gereja; 2) sekuler, dimana agama dipisahkan
dari negara. Sedangkan dalam Islam, sebenarnya tidak mengenal keduanya
secara mutlak.
Untuk yang sekuler, dalam Bahasa Arab biasanya
disebut fashlu din ‘an daulah (pemisahan agama dari negara). Yang benar
dalam Islam itu, menurut Dr Imarah, adalah tamyiz din ‘an daulah.
Istilah tamyiz seperti ini memang susah jika dicari terjemahannya ke
dalam Bahasa Indonesia. Namun intinya yang dimaksud dengan tamyiz adalah
filter atau memilah-milih mana yang termasuk urusan agama dan sekaligus
urusan negara atau politik, dan mana yang murni urusan politik saja
tanpa ada sangkut-pautnya dengan agama, atau sebaliknya.
Jadi,
pendapat ulama al-Azhar tentang kasus politik di Mesir adalah bagian
dari tamyiz din ‘an daulah. Jadi tidak semua urusan politik lantas
dikaitkan dengan Islam. Apalagi masalah kepentingan perebutan kekuasaan
seperti ini yang lantas mengatasnamakan agama untuk mendapat dukungan
dan simpati politik, jelas keliru.
Jadi intinya, harus dibedakan
antara kasus dan konsep. Secara konsep, jelas Islam tidak terpisah dari
negara dan politik. Tapi ini adalah kasus, yaitu kasus perebutan
kekuasaan.
Salah satu contoh turunan dari perkara ini adalah, isu
syariat Islam dibawa-bawa sebagai alasan untuk mendukung Ikhwanul
Muslimin. Stigma yang muncul selanjutnya adalah, Ikhwanul Muslimin perlu
dibantu karena mereka memperjuangkan Syariat Islam.
Memang benar
Ikhwanum Muslimin memperjuangkan Syariat Islam. Tapi yang menjadi
pertanyaan selanjutnya, apa benar hanya Ikhwanul Muslimin yang
memperjuangkan Syariat Islam di Mesir?
Stigma seperti ini artinya
pengerucutan isu bahwa perjuangan Syariat Islam hanyalah milik Ikhwanul
Muslimin. Stigma tersebut tentu tidak berdasar dan menimbulkan logical
fallacy dalam pemikiran umat Islam. Sebab stigma ini setidaknya sudah
menafikan dan tidak menganggap peranan al-Azhar dan ulamanya serta
peranan kelompok Salafi dalam penerapan Syariat Islam di Mesir.
Selama
ini, urusan Syariat Islam di Mesir sangat dikawal ketat oleh al-Azhar
dan kelompok Salafi juga turut menyetujui konstitusi berlandaskan
Syariat Islam yang sudah direferendum pada masa kepresidenan Mursi.
Namun
faktanya, ketika Presiden Mursi dikudeta, al-Azhar dan kelompok Salafi
yang juga memperjuangkan Syariat Islam juga turut menyetujui kudeta
tersebut. Logikanya, seandainya Ikhwanul Muslimin digulingkan karena
Syariat Islam yang mereka perjuangkan, tentu al-Azhar dan kelompok
Salafi tidak akan merestui kudeta tersebut.
Lantas perlukan kita mendukung Ikhwanul Muslimin di Mesir?
Selama
mereka menjadi korban kedzaliman dan keganasan militer Mesir, maka
sebagai sesama Muslim harus menolong dan mendukung mereka. Walau
bagaimanapun kita tidak dapat membiarkan kedzaliman. Jika militer
bersikap biadab.
Namun jika terkait urusan politik Ikhwanul
Muslimin yang ingin merebut kembali kekuasaan mereka, maka kita tidak
perlu turut campur dalam urusan politik dalam negeri Mesir tersebut. Itu
adalah murni urusan politik mereka.
Sikap seperti inilah yang
diperankan oleh al-Azhar. Ketika pendukung Mursi didzalimi, al-Azhar
mengecam keras tindakan militer. Al-Azhar bahkan berkali-kali mengimbau
petinggi Ikhwanul Muslimin dibebaskan sebagai bentuk persamaan hak
politik. Namun soal perebutan kekuasaan, al-Azhar sama sekali tidak mau
ikut campur. (*)
sadzali_albanjary@yahoo.com
0 orang berkata:
Post a Comment